Baru baca buku yang menurutku sangat bagus, mampu menyemangati kita untuk maju terus dengan niat tulus. Tanpa berfokus ke hasil. Ini yang insya Allah membuat kita legowo dalam bertindak. Karena masalahku di situ. Kalau mau melakukan apa-apa, selalu berfikir..."kalau nanti begini gimana?"
"Kalau nanti gagal gimana?" "Kalau orang tidak menghargai gimana?" bahkan..."Kalau sukses gimana?" Yah memang begitu banget diriku. Sungguh melelahkan, padahal hanya proses mikir doang...hahaha. Lalu karena waktu 'mulai luang', (baca: urusan pendaftaran sekolah hampir selesai) maka aku sempat lihat-lihat lagi materi blog di Digital Mommie. Dan betapa banyak tambahan tutorialnya...betapa menggembirakan, skaligus mencemaskan. Akhirnya karena masih ada utang puasa (hadeeeuuh, bulan Sya'ban masih punya utang, astaghfirullaaahh), dan baru akan tidur jam 1 malam. Kuputuskan untuk begadang saja sambil belajar di depan laptop. Menulis postingan baru, lihat tutorial dan merapikan catatan. Ngeprint 'menu seminggu' dan mengisinya.
Lalu ada nasehat-nasehat praktis yang aku dapat dari buku 'follow your passion', seperti membuat catatan atau dream book. Sesuatu yang mungkin buat beberapa orang sudah basi, tapi buatku ini sesuatu yang brand new, alias belum pernah dilakukan. Aku akan coba :)
Monday, June 24, 2013
Akhirnya kembali nge blog.... Kali ini cerita tentang PPDB
Bulan Mei-Juni 2013 ini sibuk sekali. Karena jadi ketua panitia perpisahan TK Ruwati III, Pondok Labu dan persiapan Syarif ke SMA dan Fia ke SD. Setelah semua urusan perpisahan selesai, napas sebentar, lalu mulai disibukkan dengan pendaftaran online SMA dan SD. Jangan lupa proses kasak kusuk cari informasi mengenai tata cara pendaftaran tahun ini. Ada perbedaan yang signifikan antara pendaftaran sekolah negri tahun ini dan tahun kemarin ketika anak pertamaku Maher mendaftar. Jadi aku harus jelas dulu sebelum mendaftar.
Tahun ini Jokowi-Ahok sepertinya ingin membuat anak-anak DKI sekolah yang dekat-dekat saja. Tahun lalu, waktu coba daftar di SMA 28, Pasar Minggu...sambil antre(ratusan anak boo..:D) ngobrol sana sini dengan siswa maupun orang tuanya. Rupanya pendaftar bukan hanya dari Jakarta Selatan, melainkan juga dari Cibubur, Bekasi, Serpong, bahkan Kudus, ya dari berbagai propinsilah kurasa ada. Maklum, SMA favorit. Jadi rebutan gitu deh. Jaman aku sekolah di SMA 3 Bandung(sekolah favorit lho..ehhmm), aku juga punya beberapa teman sekelas yang kos di Bandung demi bisa sekolah di SMA 3. Ada yang dari Palembang, Serang, Lampung, Cimahi, dan mungkin ada lagi dari wilayah lain ya, aku lupa.
Nah, balik ke kebijakan pemda DKI tahun ini maka pendaftaran dibagi jadi 2 bagian. Bagian pertama dibebaskan untuk siapa saja yang SMP nya di wilayah Jakarta. Misalnya ada warga Cibubur, atau Medan yang SMP nya di DKI, maka boleh mendaftar. Jatah tahap I ini 50%. Plus 5% untuk warga yang KK nya non DKI dan SMP nya pun non DKI. Tentu sangat sulit persaingan untuk warga yang SMP nya non DKI dan KK nya non DKI. Kalau nilainya gak top banget, sulit tembus.
Tahap ke 2 disebut tahap Lokal. Karena khusus untuk anak-anak yang memiliki KK yang 1 kecamatan dengan sekolah yang dituju. Misalnya di kecamatan Cilandak, ada SMA 28, 34, 66 dan 49. Maka warga Cilandak yang tidak lolos di tahap I (karena harus bersaing dengan warga Bekasi, Cibubur, Serpong dllsb) bisa punya kans yang cukup besar di tahap Lokal ini. Begitu....hehehe. Memusingkan? ya, awalnya begitu sih. Sebetulnya sederhana, tapi mendaftarkan anak sekolah itu sudah menegangkan. Sehingga membaca peraturan-peraturan pendaftaran (yang seringkali berubah teruuus) rasanya cepet banget otak buntu...haha.
Syarif mendaftar di SMA 34, Pondok Labu. Hanya 10 menit dari rumah. Mudah-mudahan bisa diterima. Amiin... Fia mendaftar di SD Pondok Labu 11 Pagi, hanya 5 menit dari rumah. Kalau pendaftaran SD tahun ini lain lagi ceritanya. Semua SD Negri prosesnya sama, online. Tidak ada lagi SD skala SBI sekarang ini. SBI biasanya melakukan tes penyaringan sendiri. Anak dites membaca, menulis, berhitung, bahasa inggris, ditanyai data diri seperti nomor hp orang tua, alamat dll. Otomatis yang masuk SBI adalah anak-anak yang pintar....atau yang main belakang..hehe :D. Tahun ini tidak ada tes. Variabel penerimaan cuma 1...yaitu: UMUR. Jadi semakin tua seorang anak, asal tidak lebih dari 12 tahun, maka pasti diterima. Ijazah TK tidak wajib, sama sekali bukan syarat. Jadilah anakku, yang usianya Juli ini 6 tahun 7 bulan, tidak diterima di SD yang kami harapkan. Tapi kami masih akan coba tahap Lokal. Khusus buat warga sekitar sekolah, dapat kesempatan ke 2 untuk mendaftar lagi. Mudah-mudahan nanti bisa diterima. Fia akan bersaing dengan warga Pondok Labu lainnya. Warga dengan KK di luar Pondok Labu tidak bisa ikutan. Semoga fia bisa diterima...:)
Tahun ini Jokowi-Ahok sepertinya ingin membuat anak-anak DKI sekolah yang dekat-dekat saja. Tahun lalu, waktu coba daftar di SMA 28, Pasar Minggu...sambil antre(ratusan anak boo..:D) ngobrol sana sini dengan siswa maupun orang tuanya. Rupanya pendaftar bukan hanya dari Jakarta Selatan, melainkan juga dari Cibubur, Bekasi, Serpong, bahkan Kudus, ya dari berbagai propinsilah kurasa ada. Maklum, SMA favorit. Jadi rebutan gitu deh. Jaman aku sekolah di SMA 3 Bandung(sekolah favorit lho..ehhmm), aku juga punya beberapa teman sekelas yang kos di Bandung demi bisa sekolah di SMA 3. Ada yang dari Palembang, Serang, Lampung, Cimahi, dan mungkin ada lagi dari wilayah lain ya, aku lupa.
Nah, balik ke kebijakan pemda DKI tahun ini maka pendaftaran dibagi jadi 2 bagian. Bagian pertama dibebaskan untuk siapa saja yang SMP nya di wilayah Jakarta. Misalnya ada warga Cibubur, atau Medan yang SMP nya di DKI, maka boleh mendaftar. Jatah tahap I ini 50%. Plus 5% untuk warga yang KK nya non DKI dan SMP nya pun non DKI. Tentu sangat sulit persaingan untuk warga yang SMP nya non DKI dan KK nya non DKI. Kalau nilainya gak top banget, sulit tembus.
Tahap ke 2 disebut tahap Lokal. Karena khusus untuk anak-anak yang memiliki KK yang 1 kecamatan dengan sekolah yang dituju. Misalnya di kecamatan Cilandak, ada SMA 28, 34, 66 dan 49. Maka warga Cilandak yang tidak lolos di tahap I (karena harus bersaing dengan warga Bekasi, Cibubur, Serpong dllsb) bisa punya kans yang cukup besar di tahap Lokal ini. Begitu....hehehe. Memusingkan? ya, awalnya begitu sih. Sebetulnya sederhana, tapi mendaftarkan anak sekolah itu sudah menegangkan. Sehingga membaca peraturan-peraturan pendaftaran (yang seringkali berubah teruuus) rasanya cepet banget otak buntu...haha.
Syarif mendaftar di SMA 34, Pondok Labu. Hanya 10 menit dari rumah. Mudah-mudahan bisa diterima. Amiin... Fia mendaftar di SD Pondok Labu 11 Pagi, hanya 5 menit dari rumah. Kalau pendaftaran SD tahun ini lain lagi ceritanya. Semua SD Negri prosesnya sama, online. Tidak ada lagi SD skala SBI sekarang ini. SBI biasanya melakukan tes penyaringan sendiri. Anak dites membaca, menulis, berhitung, bahasa inggris, ditanyai data diri seperti nomor hp orang tua, alamat dll. Otomatis yang masuk SBI adalah anak-anak yang pintar....atau yang main belakang..hehe :D. Tahun ini tidak ada tes. Variabel penerimaan cuma 1...yaitu: UMUR. Jadi semakin tua seorang anak, asal tidak lebih dari 12 tahun, maka pasti diterima. Ijazah TK tidak wajib, sama sekali bukan syarat. Jadilah anakku, yang usianya Juli ini 6 tahun 7 bulan, tidak diterima di SD yang kami harapkan. Tapi kami masih akan coba tahap Lokal. Khusus buat warga sekitar sekolah, dapat kesempatan ke 2 untuk mendaftar lagi. Mudah-mudahan nanti bisa diterima. Fia akan bersaing dengan warga Pondok Labu lainnya. Warga dengan KK di luar Pondok Labu tidak bisa ikutan. Semoga fia bisa diterima...:)
Fia menyanyi di acara perpisahan TK Ruwati III |
Wednesday, May 22, 2013
Bagaimana Cara Membuat Keranjang Takakura
Karena tidak tahu apa itu keranjang takakura dan bagaimana cara buatnya, maka aku tanya teman jurusanku dulu. Ada Emenda Sembiring dan Shanty
Syahril. Mereka punya jawaban yang hampir sama. Bahwa untuk bisa menjadi
kompos, sampah harus dikasi semacam aktivator, yaitu tanah yang sudah mengandung
mikroba hidup. Nanti proses akan berjalan terus sampai semua sampah jadi kompos. Ada link yang bisa dibaca sebagai masukan http://clearwaste.blogspot.com/ .
Dan setelah googling lagi dan lagi, akhirnya sampai ke tutorial berikut ini....http://www.youtube.com/watch?v=b6S1JHPFR8g. Maka saya pun siap membuat inokulan. Yaitu bakal biangnya keranjang takakuraku nanti.
Hari itu (biar sedikit dramatis),
aku sudah catat semua yang diperlukan. Kompos, sekam, pupuk kandang, air gula, pupuk daun, dedak(makanan ayam), karung atau
plastik bekas karung beras, sarung tangan dan termometer. Hampir semuanya gampang dicari, kecuali pupuk daun dan termometer untuk tanah. Akhirnya aku beli termometer buat bikin
permen/coklat..hehe, saking penasarannya pingin bikin inokulan ini. Dan satu hal lagi, waktu mau beli sekam,
kompos dan pupuk kandang ukuran kecil ga ada. Adanya ya karung sedang agak
besar gitu. Walhasil hari itu pulang bawa 3 karung dengan volume yang lumayan besar. Sekam bakar,
kompos dan pupuk kandang masing-masing 1 karung. Padahal perlunya sedikit-sedikit doang. Tak apalah,
demi lingkungan…
sedikit gula dicampur air secukupnya |
tanah kompos |
kompos daun |
sekam padi |
dedak |
pupuk kandang *kirain bau, ternyata nggak* |
Keesokan harinya, mulailah
mencampur mereka semua itu dengan takaran yang diajarkan disini. Lalu hari demi hari, aku ukur suhunya… Hari
pertama, kedua…kok adem ayem aja, suhunya tidak naik sama sekali. Minggu pertama…masih anteng. Hari ke 10, gak
juga panas. Padahal harusnya dia memanas, artinya tanah mulai aktif, mikrobanya
hidup.
Karena mentok dan gak ada ide, aku tanya teman lagi. Akhirnya dikasi solusi simpel dan tokcer…yaitu BELI keranjang
takakura siap pakai di Kebun Karinda. Dan sejak itu…proses komposting berjalan
lancar dan menyenangkan :)
Tuesday, May 21, 2013
Perkenalanku Dengan Keranjang Takakura
Berawal dari
kegelisahan diri sendiri, dan rasa bersalah. Karena saya kan sarjana teknik
lingkungan, tapi kemudian menjadi Ibu Rumah Tangga, kemudian jadi guru, gak tau
besok jadi apa, masih meraba-raba. Anyway, jadi walaupun saya belajar tentang
lingkungan (lupa semua sekarang mah), tapi ternyata saya masih nyampah seperti
ibu-ibu lainnya. Kalau masak cabe…bijinya saya buang, kalau makan buah-buahan
kulitnya dibuang, kulit telur dibuang dan seterusnya. Padahal saya tau, bahwa
itu adalah sampah organik yang bisa diolah menjadi kompos.
Kalau tidak bisa
ikut bangun proyek-proyek lingkungan yang besar..hihi…karena keburu sibuk di
rumah, tak apalah. Tapi kalo gak bisa bikin kompos juga, itu sih kebangetan.
Begitu aku pikir. So, mulailah cari tau tentang, “Bagaimana siiihh sebetulnya
bikin kompos itu?”
Ketika pergi ke
tempat umum seperti mall atau sekolah dll, aku lihat tempat sampahnya terpisah.
Organik dan anorganik. Aku lihat orang yang membuang sampah sudah cukup bisa
membedakan, jadi sampah terklasifikasi dengan cukup baik. Beberapa tempat
sampah malah dikasi gambar/tulisan, bahwa organik tu seperti makanan, sayur,
daun pisang. Anorganik itu kaleng, plastik dan kertas. Lumayan juga, pikirku.
Nah, pas
petugasnya lewat aku tanya…”Pak, ini sampah-sampah nanti diapain?”
“Dibuang aja Bu, nunggu mobil sampah lewat,” katanya
“Dicampur gitu Pak?” tanyaku lagi. “Iya,” kata si Bapak.
Ya ampuun pikirku, kalo ujung-ujungnya dicampur mah ngapain
dipisah-pisahin segala. OMG…tepok jidat deh..
Sampah Jakarta dan kota-kota besar lainnya. 60%-70% nya adalah organik |
Kesimpulannya,
semua sekolah, mall dllsb harusnya gak Cuma misahin, tapi juga punya
pengelolaan sampah organik sendiri. Kan sederhana kok. Atau kalo mereka gak
sanggup, ya harus tau kemana sampah organik itu bisa dikirim, supaya jadi
manfaat. Karena sampah organik itu ‘bukan
sampah’ lho…. Mereka memang sisa atau tidak terpakai, tapi bukan berarti tidak
ada manfaatnya. Ada manfaatnya, bisa bermanfaat asal kita mau sedikit usaha. Sedikit
kok gak banyak-banyak…manfaatnya yang banyak. Sangat banyak….
Lanjut cari
tau tentang cara bikin kompos. Tanya mbah google…jawabannya banyak banget…ribuan…
Ada yang sistem gali. Jadi di taman kita, sediakan sepetak tanah yang dipake
untuk buang sampah. Tiap mau buang sampah, digali dulu, diisi sampah terus
tutup lagi. “Rasanya gak mungkin dapet restu suami nih,” pikirku kalau pake
cara ini. Lagipula disuru macul-macul gak kuat. Pembantu kan gak selalu ada.
Lagipula kapan jadinya tu sampah, masa main gali timbun terus. Tanya mbah
google lagi… Nah, sepertinya ada cara komposting untuk rumah tangga yang
bersih, wangi alias gak bau, enak diliat. Itulah keranjang takakura :)
ini yang namanya keranjang takakura |
Monday, May 20, 2013
Monday, May 13, 2013
Our "green song"...:)
Lagu anak-anak lama yang disesuaikan dengan situasi lingkungan sekarang ini. Check it out !! :D
Sunday, May 12, 2013
Rumahku ketika belum menikah.
Setelah menikah juga masih di sini ding....2-3 tahun. Setelah itu baru berpindah-pindah...hehe. Dari Lampung, Jakarta-Salemba, Ciputat 1, Ciputat 2, Cibubur...sekarang Pondok Labu. Semoga tetap di sini. Cape pindah-pindah...:)
View Rumah Orang Tua in a larger map
View Rumah Orang Tua in a larger map
Subscribe to:
Posts (Atom)